Badung (KitaIndonesia.Com)– Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak. Peribahasa ini pas disematkan pada eksekutif dan legislatif Kabupaten Badung. Belum tuntas menangani teror sampah sebulan terakhir, pemegang kebijakan salah satu kabupaten terkaya di Indonesia itu malah mengajak masyarakat “berandai-andai” menampung seluruh sampah dari kabupaten di Bali mulai 2023 untuk diolah menggunakan mesin canggih. Tentu itu wacana hebat, sayangnya tak dibarengi aksi nyata memunguti sampah yang berserakan di mana-mana. Hingga Senin (18/11) sampah masih menggunung di beberapa titik. Salah satunya di Jalan Panji, Banjar Kwanji, Dalung, yang hanya berjarak beberapa langkah dari kediaman Ketua DPRD Badung, Putu Parwata.
Kenapa Badung sangat lambat mengatasi masalah sampah ini? Pemerhati pariwisata asal Kuta, Wayan Puspa Negara mensinyalir Pemkab Badung memang tidak punya perencanaan terkait sampah. Dengan kata lain, pada RTRK (Rencana Tata Ruang Kabupaten) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) di kecamatan, Pemda Badung tidak mempunyai rencana pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) dan tempat pembuangan sementara (TPS). Hal inilah yang membuat Bupati Badung Nyoman Giri Prasta kebingungan menentukan di mana letak TPA dan TPS.

“Saya mensinyalir di RTRK, RDTR, renja (rencana kerja), renstra (rencana strategis), RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah), dan RPJP (rencana pembangunan jangka panjang) Badung masalah TPA dan TPS sepertinya belum termuat. Jika perencanaan pembangunan disusun cermat, tentu dalam RDTR terlihat di mana zona TPA dan TPS. Sehingga jika terjadi post majeur atau situasi tak terduga seperti saat ini, pemerintah tidak susah mencari lokasi TPA atau TPS,” ucapnya dihubungi, Minggu (17/11) malam.
Puspa Negara menilai Pemda Badung kurang sensitif dan cekatan mengantisipasi berakhirnya masa kerja sama pemanfaatan TPA Suwung oleh 4 kabupaten, yakni Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan pada 2020 mendatang. TPA dan TPS, terangnya merupakan hal vital yang mutlak harus disiapkan jauh-jauh hari. Dirinya juga mengkritik Pemda Badung yang terkesan tidak memiliki kemampuan diplomasi atau negosiasi kerja sama lanjutan sehingga berdampak pada tercorengnya citra pariwisata Bali di mata internasional.
“Negosiasi tidak dilakukan sebelum kerja sama berakhir. Akibatnya, ketika TPA suwung ditutup mendadak meski masih ada waktu bulanan, DLHK Badung kelimpungan,” tandasnya. Puspa Negara bahkan menyebut tidak sedikit wisatawan mancanegara yang “mencemooh” kemampuan Pemda Badung terkait pengelolaan sampah. Ekses lebih jauh adalah penilaian negatif pada sejumlah upaya berbiaya mahal yang dilakukan Pemda Badung dalam memerangi sampah. Di antaranya lewat program Gotik, bank sampah, gertak, dan sejenisnya. Agar program positif di hulu bermanfaat, dirinya berharap Pemda Badung juga punya program hilir, baik penggunaan mesin canggih pengolahan sampah atau sejenisnya. Dengan jumlah PAD yang tinggi, Puspa Negara yakin hal itu tak sulit diwujudkan.
“Harusnya sudah ada alternatif TPA yang ditentukan sesuai zona pada RTRK dan RDTR. Menurut saya solusi terbaik adalah Badung terus bergerak melakukan edukasi dan demonstrasi plot tentang pengolahan di tingkat mikro. Sampah domestik dan industri pariwisata diminimalisasi di tempat masing-masing sehingga luberan sampah tidak terjadi,” ungkap mantan anggota DPRD Badung itu. Artinya, ketika pengusaha atau masyarakat mengajukan izin mendirikan bangunan/IMB, maka diatur pula proses pengelolaan lingkungan yang harus menyangkut tata kelola sampah yang paripurna atau zero waste.
Pria murah senyum itu merinci zero waste menyangkut edukasi yang masif, terpola, dan terencana pada masyarakat dan pengusaha. Termasuk setiap kantor instansi pemerintah. Seluruhnya wajib menjadi contoh zero waste. “Saya pribadi tentu berharap ada teknologi tinggi ramah lingkungan yang disiapkan oleh Pemda Badung. Seperti contohnya di Benowo Surabaya. Malu kita APBD kuat, tapi sampah di mana-mana,” rincinya. Bila tetap ingin bersaing menjadi destinasi pariwisata internasional, Puspa Negara menilai terbebas dari tumpukan sampah merupakan keharusan; tidak bisa ditawar-tawar. (KI5)