Denpasar (KitaIndonesia.Com) – Keberadaan sampradaya masih terus bergulir. Pihak yang menginginkan agar sampradaya dikeluarkan dari pengayoman Hindu terus mendengungkan narasi yang memojokkan sampradaya.
“Bahkan polemik telah berujung pada penutupan sejumlah asrham sampradaya,” ucap Akademisi UNHI Denpasar I Gusti Ketut Widana, Minggu (30/5/2021) di Denpasar.
Menurutnya, kondisi ini tentu sangat memalukan bagi umat Hindu hingga perlu disikapi dengan arif dan bijaksana. Masing-masing pihak diminta untuk menahan diri dan menghindari merasa diri paling benar.
Widana mengatakan, sejatinya sampradaya sudah ada di Bali sejak tahun 1970 an. Sampradaya lanjut Widana adalah “doktrin tradisional tentang pengetahuan”.
Sebuah aliran keagamaan/kerohanian/spiritualisme yang hidup dari tradisi Hindu, kemudian diteruskan melalui upanayana (inisiasi) dengan sadhana (disiplin) spesifik menurut petunjuk para gurunya.
“Ajaran Weda yang dilaksanakan umat Hindu di Bali pun sebenarnya tergolong sampradaya (mayoritas Siwa Sidhanta) yang juga berasal dari India, namun sudah “maloka-dresta” di Bali,” tuturnya.
“Substansi dan esensinya tetap bersumber dari Weda, namun dengan tampilan materi (sosial, adat dan budaya) yang sesuai desa kala patra gumi Bali,” terang Widana.
Lulusan pascasarjana UHN IGB Sugriwa ini membeberkan letak permasalahan atau tepatnya “kesalahan” sampradaya sampai kemudian terbit SKB Bali dan MDA Bali tentang ‘Pembatasan Kegiatan Pengemban Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali’, yang kemudian berbuntut pada penutupan ashram terletak pada ekslusivisme dan adanya arogansi.
“Harus diakui sampradaya selama ini memunculkan ekslusivisme kelompok, di mana kehadiran sampradaya adalah memosisikan diri sebagai kelompok aliran keagamaan (Hindu) yang paling benar menurut Weda pegangannya. Ditambah tampilan atribut, simbol, dan tatacara peribadatan yang tampak menjauh dari dresta Bali,” bebernya.
Ditambah muncul arogansi oknum, yang cenderung menyalahkan apa yang secara turun-temurun (tradisional-red) sudah trepti dilaksanakan umat Hindu di Bali.
Lanjutnya, sebagai orang Bali meski sudah konversi internal ke Hindu sampradaya India, logika dan etikanya mesti tetap bepegang pada pepatah di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, yang tiada lain desa/loka dresta Bali itu sendiri.
“Bagaimanapun juga aliran darah mereka adalah gen etnis Bali yang sejak dulu kala para leluhurnya dengan ajeg nindihin gumi Bali dengan agama Hindunya,” tegasnya.
Widana menyatakan akan memalukan dan memilukan jika di antara semeton Bali (Hindu) meski berbeda label saling beradu dengan tanpa menyadari bahwa semuanya benar menurut Weda, dan hanya dresta saja yang membedakannya.
“Karenanya siapapun dan apapun aliran kehinduannya sepanjang berkeinginan luhur tetap tumbuh berkembang menghiasi taman bunga aneka rupa warna keindahan beragama, sikap arif dan bijaksana yang patut ditunjukkan adalah kembali mengakar pada desa/loka dresta Bali,” pungkasnya. (rls)