Denpasar (KitaIndonesia.Com) – Tokoh adat empat anak kampung, masing-masing Kampung Lancang, Sernaru, Raba dan Wae Bo, bersama warga dan tokoh muda setempat, menggelar ritual adat dalam rangka melestarikan hutan di wilayah itu.
Ritual adat berupa “penyembelihan ayam hitam” itu dilakukan di Hutan Bowo Si’e, Tanah Ulayat Nggorang, Wae Nahi, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Jumat (28/08/20) sore.
Tua Adat Kampung Lancang, Theodurus Urus, menjelaskan bahwa ritual adat sakral itu dilakukan karena pihaknya kecewa dengan perilaku masyarakat yang merambah hutan negara di wilayah itu. Bahkan ada pula yang mengklaim sebagian kawasan hutan negara itu sebagai milik pribadi.
“Kami sangat prihatin dan kecewa karena hutan negara di wilayah Ulayat Nggorang ‘Bowo Si’e’ RTK 108, yang terletak di wilayah Kelurahan Wae Kelambu dan Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, telah dirambah dan dibagi menjadi hak milik perorangan oleh warga,” ucapnya.
Ia menambahkan, ritual sembelih ayam hitam juga dilakukan sebagai lambang kedukaan. Sebab akibat perusakan hutan tersebut, sumber air di wilayah itu akhirnya mati.
“Kami para tokoh adat dari empat anak kampung mengecam keras para pelaku perusak hutan ini. Karena itu kami menggelar acara ini, dengan tujuan memohon kebijakan leluhur. Biarkan para leluhur yang terlibat mengatasi dan memberi ganjaran para pelaku yang merusak hutan,” ujar Theodurus Urus.
Selain meminta pertolongan leluhur, acara tersebut juga dibuat untuk mencegah konfik batas hutan di wilayah ini. Apalagi, di lahan hutan tersebut justru telah dibangun rumah dan fasilitas lainnya oleh warga lain.
“Mereka mengklaim telah mengantongi ijinp dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia untuk membagi hutan negara ini,” papar Theodurus Urus.
Sementara Muhamad Sidik, Tokoh Adat Kampung Sernaru, menyebut, Dinas Kehutanan/ KPH Manggarai Barat dan instansi terkait terkesan tidak mampu melarang dan mencegah warga masyarakat pelaku perusak hutan.
“Padahal kawasan Hutan Negara Nggorang ‘Bowo Si’e’ RTK 108 terdapat beberapa mata air dan beberapa jenis burung, seperti Burung Maleo, Burung Kakak Tua dan Ayam Hutan, yang semestinya dijaga dan dilindungi,” ucapnya.
Sidik mengaku pernah melaporkan secara resmi hal ini melalui pendekatan secara budaya Manggarai ke instansi terkait pada 15 April 2018 lalu. Namun hingga saat ini laporan tersebut tidak digubris.
Hal tak jauh berbeda dilontarkan tokoh pemuda setempat, Lasarus Ondok. Ia bahkan kesal karena tuntuan tersebut tidak diindahkan instansi terkait hingga saat ini.
“Kami tidak mengklaim bahwa tanah tersebut akan jadi milik kami. Tetapi kami ingin selamatkan hutan kami,” tegas Lasarus.
Pihaknya ingin hutan yang ada kembali ke fungsinya. Karena itu, apabila tuntuan tersebut tidak digubris, pihaknya khawatir akan terjadi konflik sosial yang sangat besar di tengah masyarakat.
“Bisa saja akan terjadi perebutan lahan dan batas wilayah adat. Juga terjadinya kekeringan sumber mata air, punahnya jenis burung yang ada di lokasi tersebut. Akibat selanjutnya terjadi erosi dan banjir saat terjadi hujan besar karena tidak ada pohon dan kayu yang menyerap air hujan,” tegasnya.
“Kurang lebih 100 hektar Sawah Semaru dan Sawah Wae Nahi gagal panen tahun 2018, karena sumber mata air kering di Hutan Negara Nggorang Bowo S’ie RTK 108,” imbuh Lasarus.
Turut hadir dalam acara tersebut Lurah Wae Kelambu Markus Randu, Babinsa Kelurahan Wae Kelambu Sersan Mayor Dethan Anderias Eluama dan Bhabinkamtibmas Dewa Arif.
“Acara ini bertujuan bagaimana agar alam itu dipulihkan, karena selama ini dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” jelas Randu, sembari menambahkan bahwa warga di Kelurahan Wae Kelambu siap mendampingi Dinas Kehutanan/ KPH Manggarai Barat untuk mengetahui batas-batas Hutan Negara Bowo Si’e RTK 108. (KI-01)