KitaIndonesia.Com – Anak-anak hasil perkawinan campuran banyak yang galau. Pasalnya, banyak dari mereka yang terpaksa memilih menjadi warga negara asing (WNA), karena aturan mengharuskan mereka memilih kewarganegaraan di usia 18 tahun.
Kegalauan anak-anak hasil perkawinan campuran ini sebagaimana disampaikan Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia dalam berbagai kesempatan.
PerCa Indonesia menyebutkan, banyak anak hasil perkawinan campuran kesulitan melakukan pilihan ini saat memasuki usia 18 tahun, sesuai amanat UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Salah satunya karena masih menempuh pendidikan di luar negeri. Ada pula yang sama sekali tidak paham regulasi di Indonesia.
Untuk menjawab masalah yang sering disuarakan PerCa Indonesia ini, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Bali menggelar Sosialisasi UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Selasa 22 Maret 2022.
Dalam sosialisasi yang digelar secara hybrid ini, terungkap beberapa solusi yang sedang dipertimbangkan pemerintah dalam menjawab kegundahan anak-anak hasil perkawinan campuran ini.
Di antaranya adalah dengan merancang revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh Kehilangan Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
“Pemerintah sedang merancang untuk merevisi PP Nomor 2 Tahun 2007,” kata Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Dr Baroto, SH, MH, yang tampil sebagai narasumber utama dalam sosialisasi ini.
“Mudah-mudahan anak-anak hasil perkawinan campuran yang terancam menjadi WNA, kita berikan kemudahan tambahan berupa perpanjangan waktu mengambil pilihan terkait status kewarganegaraan,” imbuhnya.
Ia tak menampik, ada pula usulan yang mengemuka untuk mengurai masalah ini yakni dengan merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006. Apalagi undang-undang tersebut sudah berusia 15 tahun.
“Memang ada yang berjuang merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006. Tetapi itu membutuhkan waktu yang sangat panjang. Apalagi belum menjadi prioritas di Prolegnas DPR RI,” papar Baroto.
Sesungguhnya, lanjut dia, UU Nomor 12 Tahun 2006 sangat revolusioner karena negara benar-benar melindungi anak-anak hasil perkawinan campuran.
“Undang-undang ini sangat maju. Sebab anak-anak hasil perkawinan campuran diberikan keistimewaan menyandang status kewarganegaraan ganda terbatas sampai usia 18 tahun,” ujarnya.
“Saat usia 18 tahun atau sudah menikah, mereka bisa memilih. Bahkan diberikan waktu lagi maksimal tiga tahun, jadi sampai 21 tahun, untuk memilih salah satu kewarganegaraan,” lanjut Baroto.
Meski sudah ada aturan demikian, namun faktanya masih saja banyak kesulitan yang dihadapi anak hasil perkawinan campuran di lapangan untuk memilih kewarganegaraan.
“Ini yang perlu dikaji secara mendalam. Termasuk di dalamnya pemerintah berupaya merevisi PP Nomor 2 Tahun 2007,” tandas Baroto, dalam sosialisasi yang banyak dihadiri pengurus dan anggota PerCa Indonesia Perwakilan Bali ini. (KI-01)