Labuan Bajo (KitaIndonesia.Com) – Kasus dugaan pengalihan lahan milik Pemkab Manggarai Barat di Keranga/ Toro Lema Batu Kallo, menjadi isu besar di Labuan Bajo beberapa waktu terakhir. Kasus ini semakin menarik, karena menyeret pejabat publik di daerah hingga nama beken dari Jakarta.
Saat ini, penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT terus melakukan penyelidikan atas kasus ini. Lebih dari 100 orang saksi bahkan telah diperiksa penyidik, guna menguatkan bukti-bukti terkait pengalihan lahan seluas sekitar 30 hektare (Ha) itu.
Dari beberapa informasi yang beredar, sebagian lahan tersebut sudah bersertifikat dan beralih menjadi milik pribadi. Sebagian lainnya diduga sudah dikapling- kapling, hingga dijual ke grup pengusaha besar serta mantan petinggi di ibu kota.
Sejauh ini, memang belum ada perkembangan menggembirakan dalam pengusutan kasus yang dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp 3 triliun ini. Publik masih menunggu janji Kejati NTT, terkait penetapan status tersangka dalam kasus tersebut, pada awal 2021 ini.
“Perhatian Presiden Jokowi begitu besar untuk Labuan Bajo. Tetapi perhatian besar pemerintah pusat ini menjadi tidak berarti kalau sengkarut persoalan agraria di Labuan Bajo tidak dituntaskan. Apalagi ini sudah terjadi bertahun- tahun,” kata Pembina HIPMMABAR Jakarta, Yosef Sampurna Nggarang, dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Senin (11/1/2021).
Ia menyebut, perhatian pemerintah pusat untuk Labuan Bajo cukup besar, termasuk di sekitar lahan yang kabarnya adalah milik pemerintah daerah tersebut. Di dekat lokasi tersebut, didesain sebagai kawasan pariwisata dan dinamakan Kawasan Pariwisata Wae Cicu. Di kawasan ini sederet hotel bintang lima dan beberap resort sudah dibangun. Bahkan tidak jauh dari lahan Keranga, yaitu daerah Batu Gosok, sudah berdiri lama Puri Komodo dan dalam waktu tidak lama lagi akan dibangun hotel bintang lima oleh salah satu grup pengembang besar dari Jakarta.
“Untuk mendukung pembangunan di kawasan pariwisata Wae Cicu, bulan Maret 2020 pemerintah pusat menggelontorkan APBN lewat Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan total anggaran sembilan belas miliar lima ratus tujuh puluh tujuh juta seratus sembilan puluh tiga ribu rupiah (Rp 19.577.193.000,00). Anggaran miliar ini untuk mengaspal jalan di kawasan itu, dan menjadi salah satu jalan aspal terbaik untuk sebuah daerah kabupaten. Pembangunan jalan ini sementara belum berdampak sebagai nilai tambah terhadap ekonomi masyarakat, tetapi paling tidak berdampak bagi pemilik lahan sekitar jalur ini yaitu valuasi harga tanah langsung naik. Inilah bentuk nyata perhatian dari Presiden Jokowi untuk kemajuan Manggarai Barat,” tutur Sampurna Nggarang.
Perhatian Presiden Jokowi, lanjut dia, tidak menjadi berarti apabila sengkarut persoalan agraria di Labuan Bajo terus berlarut. Namun belakangan ini publik mulia menaruh haparan besar, terutama ketika Kajati NTT Dr Yulianto, SH, MH, merespons persoalan ini. Mengusut lahan Keranga seluas 30 Ha adalah pintu masuk.
“Sebagian lahan ini sudah disertifikat dan sebagiannya sudah dikapling- kapling. Karena itu, Kejati NTT masuk untuk mengusut dugaan pengalihan aset tanah Pemkab Manggarai Barat tersebut. Menurut Kajati NTT, pengalihan aset tanah ini berpotensi negara mengalami kerugian sebesar 3 triliunan rupiah. Angka kerugian yang sangat fantastis, apalagi untuk ukuran sebuah daerah kabupaten,” ujar Sampurna Nggarang.
Dengan angka kerugian yang fantastis ini, imbuhnya, wajar jika publik kaget hingga penasaran. Bahkan Romo Benny Soesatyo, dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut di Jakarta, juga tiba-tiba ikut mengomentari persoalan ini.
“Komentar Benny Soesatyo, di media (JPNN 10/1/2021), entah media salah kutip atau benar adanya, adalah ‘Kejaksaan kurang teliti dalam hal hukum adat perihal kepemilikan tanah Toro Lemma’. Pernyataan Benny Soesatyo ini membuat saya dan publik kaget sekaligus senang. Senang, karena Benny Soesatyo menguasai hukum adat perihal tanah Toro Lemma. Andaikan menguasai hukum adat ini, Benny Soesatyo bisa memberi keterangan ke penyidik, sehingga akan lebih menarik dan akan menjadi terang persoalan ini. Lantas, maukah Benny Soesatyo memberi keterangan terkait hal yang dia kuasai perihal hukum adat Tanah Toro Lemma?” tanya Sampurna Nggarang.
“Lalu pernyataan berikutnya, secara akal sehat, menurut Benny Soesatyo, apa yang dikatakan Kajati itu patut dipertanyakan karena tampaknya tidak ada tanah di Labuan Bajo yang strategis sekalipun berharga sekitar 10 juta per meter. Lagi- lagi saya kaget. Benny Soesahtyo mempertanyakan nilai harga tanah 10 juta, ini mengandaikan bahwa Benny Soesatyo sudah tahu pasaran harga tanah di Labuan Bajo. Saya sebagai putra daerah ingin mengajak Benny Soesatyo, kalau memang peduli dengan Manggarai Barat agar berpikir lebih jauh, tidak pada harga nilai tanah semata, apalagi mempertanyakan soal kesahihan angka kerugian triliunan yang dipaparkan Kejati. Agar objektif, kita mesti sedikit bersabar menunggu hitungan nilai kerugian dari lembaga resmi negara,” imbuh Sekjend Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) ini.
Sambil menunggu, menurut dia, semua pihak diharapkan ikut mengawal proses yang sedang berjalan di Kejati NTT agar tetap on the track dan transparan dalam mengungkap semuanya. Sampurna Nggarang juga secara khusus menyinggung pihak-pihak yang mengatakan bahwa Kejaksaan hanya mencari sensasi.
“Itu sebuah reaksi yang berlebihan, karena tidak menyangka persoalan ini diusut oleh penegak hukum. Saya menduga orang tersebut bagian dari status quo atau mungkin diboncengi oleh kepentingan segelintir orang yang tetap ingin menguasai dan memiliki tanah 30 Ha tersebut. Soal ini, biarkan waktu yang menjawab. Dan untuk Kejaksaan, jangan goyah terkait komentar- komentar seperti ini, maupun ancaman yang terkesan sangat reaktif. Jangan mau kalah. Tetap tegak pada jalur penegakan hukum,” tegas Sampurna Nggarang.
Sejauh ini, imbuhnya, baik publik maupun investor sangat mendukung langkah Kejati NTT untuk mengusut tuntas persoalan ini. Dukungan dari investor dibuktikan dengan menyerahkan sertifikat yang sudah terbit di atas lahan tersebut. Sedangkan bentuk dukungan publik adalah memberikan informasi sejauh yang publik ketahui, dengar dan mengalami.
“Mungkin itulah mengapa saksi yang diperiksa oleh penyidik sampai 102 orang. Juga untuk mereka yang koar- koar selama ini bahwa tanah Keranga atau Toro Lemma Batu Kalo tidak masuk dalam inventaris penyerahan aset saat pemekaran tahun 2003, jangan mengingkari dan menutupi ini. Penyerahan aset tanah Keranga/ Toro Lemma Batu Kallo memang tidak terjadi tahun 2003, tetapi terjadi pada tahun 2005, dalam satu bundel dokumen Berita Acara Serah Terima Hasil Klarifikasi P3D Antara Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat Nomor Pem.115/ 30a/ I/ 2005,” jelas Sampurna Nggarang.
Dokumen berita acara ini, menurut dia, tidak hanya menerangkan soal penyerahan aset lahan Keranga/ Toro Lemma Batu Kallo, tapi memuat penyerahan aset lainnya, yaitu aset Pantai Pede. Soal lahan Kerangan, urai Sampurna Nggarang, menerangkan beberapa poin surat, masing-masing surat pelepasan hak atas tanah (asli 4 berkas), kuitansi panjar dari uang ganti rugi tanah tersebut dalam kuitansi (asli 4 lembar), surat legalisasi (asli 4 lembar), kuitansi uang ganti rugi tanah komunal/ tanah adat yang terletak di Keranga Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai dengan nilai uang sebesar Rp 10.000.000 (5 lembar).
Surat berita acara P3D ini ditandatangani oleh Drs Anton Bagul Dagur sebagai Bupati Manggarai, Ongge Yohanes sebagai Ketua DPRD Manggarai, Pjs Bupati Manggarai Barat Drs Djidon De Haan, MSi, dan Ketua DPRD Manggarai Barat Mateus Hamsi.
“Semua pertanyaan dan keraguan sebagian orang terkait persoalan ini, saya meyakini akan terjawab pada waktu dan tempat yang tepat,” tegas Sampurna Nggarang.
Ia pun mendorong pihak Kejaksaan, agar tak sekadar mengusut persoalan ini untuk mengembalikan lahan tersebut kepada Pemkab Manggarai Barat. Hal lain adalah publik ingin memastikan penegakan hukum berjalan, harus ada efek jera bagi semua pelaku yang terlibat. Dengan begitu, ada kepastian investasi di Bumi Komodo itu.
“Bila tidak ada penegakan hukum, para pelaku akan terus menggunakan cara- cara kotor. Mereka merasa cara ini legal, padahal itu tindakan ilegal. Karena itu tidak ada publik, pengusaha atau investor yang mau mendukung cara-cara kotor tersebut. Kecuali mereka yang punya niat jahat, yang hanya ingin mendapatkan keuntungan sesaat, untuk pribadi maupun kelompok. Cara kotor itu membuat investor dan publik rugi, dan cara ini menghambat perubahan,” ucapnya.
Banyak kasus, lanjut dia, investor membeli tanah dengan harga miliaran rupiah. Saat membeli, sama sekali tidak ada masalah. Lalu tanah yang sudah dibeli itu, oleh sang investor dibangun hotel megah dengan anggaran berapa kali lipat dari harga tanah. Ketika hotel sudah dibangun dan sudah beroperasi, tiba-tiba ada yang menggugat, lalu ada proses hukum hingga Pengadilan bahkan Mahkamah Agung.
“Putusan inckrah ke luar, lalu selesai? Tentu tidak! Yang kalah akan mencari celah melapor pidana ke kepolisian. Proses pidana berjalan, lalu sidang di Pengadilan Negeri, banding ke PT, dan sampai Kasasi MA. Jadi inilah rantai pembelian tanah di Labuan Bajo, begitu panjang. Ini yang membuat sengkarut persolan agraria di Labuan Bajo sudah seperti virus. Biaya beli tanah dan ongkos perkara yang dikeluarkan begitu besar, baik uang, tenaga, pikiran dan waktu. Lantas situasi dan keadaan yang seperti ini yang kita mau dan harus dipertahankan? Rasanya tidak!” ujar Sampurna Nggarang.
Ia menyebut, nama Labuan Bajo yang mendunia berkat keindahan alam dan binatang Purba Komodo menjadikan daerah ini dilabeli daerah pariwisata super premium. Label ini akan kuat apabila salah satu persoalan yaitu persoalan agraria bisa dituntaskan.
“Bila tidak, maka dia akan menjadi seperti virus yang merongrong ‘tubuh’ super premium itu dan melemahkan ‘sendi-sendi’ investasi bidang pariwisata. Maka yang rugi adalah umat Romo Benny Soesatyo yang ada di NTT bahkan Indonesia. Mereka tidak menikmati ‘kue’ ekonomi dari pariwisata super premium ini, karena investor ragu bahkan enggan berinvestasi di daerah atau tanah yang bermasalah,” ucapnya.
“Karena itu, kehadiran Kejaksaan menjadi sangat penting untuk menjawab keraguan dari para investor atas banyaknya masalah tanah. Tugas Kejaksaan dan harus kita dukung, agar melawan virus yang menghambat investasi yaitu dengan penegakan hukum, dan sangat adil untuk masyarakat apabila soal ini segera teratasi, supaya investasi masuk, lapangan kerja tersedia. Dengan begitu, umat atau rakyat NTT tidak perlu menjadi TKI atau merantau ke daerah lain. Toh, lapangan kerja tersedia di daerah sendiri. Bukankah ini bagian dari nilai ‘keutamaan publik’? Kita harus berbuka hati. Sebenarnya inilah yang sedang dikerjakan oleh Kejaksaan NTT sekarang. Mari kita dukung dan kawal supaya persoalan agraria di Labuan Bajo yang seperti lembah kegelapan ini segera mendapatkan sinar. Dengan begitu kita mencegah, mengutip Romo Benny, ‘Jangan sampai melukai rasa keadilan’ kita semua. Mari kita dukung Kejaksaan mengusut tuntas kasus ini dan tidak terpengaruh intrik-intrik para mafia tanah,” pungkas Sampurna Nggarang. (KI-33)