Labuan Bajo (KitaIndonesia.Com) – Penyidik Polda NTT telah menetapkan Camat Boleng, BA, sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen surat yang memuat tanda tangan serta cap jempol dari 22 Tu’a Golo se-Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Surat tersebut berisi hak dan batas tanah adat ulayat Mbehel, termasuk di dalamnya tanah ulayat Terlaing, Boleng.
BA ditetapkan sebagai tersangka, setelah kurang lebih dua tahun kasus ini ditangani Polda NTT. Selain BA, belum ada informasi terkait adanya tersangka baru dalam kasus ini.
Tokoh adat Terlaing pun meminta penyidik Polda NTT untuk menahan semua pihak yang terlibat. Apalagi sebagaimana laporan polisi yang dilayangkan Tu’a Golo Terlaing, Bonefasius Bola, ada empat (4) orang terduga pelaku pengguna dokumen palsu akan hak dan batas tanah adat ulayat Mbehel, yang meliputi tanah ulayat Terlaing, yang saat ini merupakan lahan milik PT PLN dan telah dibangun PLTMG Rangko.
Menurut Bonefasius, dalam Laporan Polisi Nomor LP/ B/ 352/ X/ RES.1.9./ 2019/SPKT tertanggal 3 Oktober 2019 ini, 4 orang terduga pengguna dokumen palsu yang dilaporkan masing-masing adalah YU, LL, FL dan I. Keempat orang ini diduga menggunakan dokumen palsu yang dilampirkan sebagai bukti dalam persidangan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Oktober 2018 lalu, terkait sengketa kepemilikan lahan yang saat ini sudah dibangun PLTMG Rangko tersebut.
Keempat tergugat ini adalah mereka yang menjual tanah tersebut kepada PT PLN. Mereka menggunakan dokumen yang memuat surat pernyataan dari 22 Tu’a Golo se-Kecamatan Boleng terkait hak dan batas tanah adat ulayat Mbehel.
“Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri, pihak ulayat Terlaing kalah. Pada saat persidangan, meski dokumen ini dipakai, namun 22 Tu’a Golo yang diketahui menandatangani surat pernyataan tersebut tidak hadir pada saat persidangan,” papar Bonefasius.
Selanjutnya karena tidak puas, pihak ulayat Terlaing melalui kuasa hukum mereka melakukan banding di Pengadilan Tinggi Kupang. Di sini, pihak ulayat kembali terkapar.
“Saat kami lihat hàsil keputusan persidangan, kami mendapati ada satu dokumen yang digunakan oleh keempat tergugat ini sebagai bukti di persidangan. Dokumen tersebut adalah surat pernyataan dari 22 Tu’a Golo,” urai Bonefasius.
Surat tersebut merupakan Surat Kesatuan Wa’u Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng, yang isinya memuat pernyataan ke-22 Tu’a Golo se-Kecamatan Boleng, dan bahkan berisi cap dan tanda tangan Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dulla, selaku pihak yang mengetahui. Dokumen dimaksud memuat 7 poin penting perjalanan hak dan batas tanah adat, dari dulu dan akan datang.
Bonefasius dan pihak ulayat Terlaing pun menelusuri dokumen ini dengan meminta klarifikasi dari ke-22 Tu’a Golo se-Kecamatan Boleng. Hasil klarifikasi, ke-22 Tu’a Golo menyatakan bahwa mereka tidak pernah menandatangi dokumen tersebut dan bahkan tidak mengetahui akan adanya dokumen tersebut.
“Setelah persidangan itu kami dekati satu persatu Tua Golo ini dan menanyakan keterlibatan mereka. Kami tanyai satu persatu. Dari pernyataan mereka, didapatilah bahwa mereka tidak pernah membuat dan menandatangani surat pernyataan itu,” kata Bonefasius.
Yang justru terjadi, imbuhnya, ke-22 Tu’a Golo ini benar membubuhkan tanda tangan tapi bukan pada surat pernyataan yang dijadikan dokumen oleh keempat tergugat.
Masih dari penelusuran tersebut, demikian Bonefasius, kepada masing-masing Tu’a Golo yang didatangi diberikan alasan yang berbeda – beda untuk mendapatkan tanda tangan mereka.
“Tu’a Golo Tobodo, Tu’a Golo Rai dan Tu’a Golo Londo, didatangi jam 7 malam oleh camat Boleng. Katanya (surat) untuk pemekaran desa, dan itu yang ditandatangani oleh ketiga Tu’a Golo. Sedangkan kepada yang lain, yakni Tu’a Golo Hento dan Tu’a Golo Nampar, dikatakan surat untuk pembebasan lahan pantura,” ujar Bonefasius.
“Kalau Mberheleng, Kondo, Lando, Tureng, Ngaet, Ka’um dan Mbora, diundang oleh kepala Desa Mbuit ke rumah kepala Desa Mbuit. Dan yang memimpin rapat pada saat itu adalah camat Boleng. Yang dibahas pada saat itu tentang pemekaran desa, bukan soal surat pernyataan itu, sehingga mereka tanda tangan,” imbuhnya.
Selanjutnya menurut keterangan Tu’a Golo Betong, justru yang bersangkutan mengaku tidak pernah menandatangani surat dimaksud. Tua Golo Betong malah menandatangani surat yang disebutnya “bergaris garis”.
Lalu bagaimana peran camat Boleh dalam kasus ini? Saat ditanya demikian, Bonefasius menegaskan, jika merujuk kasus yang dilaporkannya, maka sesungguhnya camat Boleng tidak ada kaitannya.
“Yang saya gugat empat orang yang menggunakan surat pernyataan itu di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, yang ada hubungannya dengan perkara saya. Kalau soal Pak Camat, itu tidak ada hubungannya dengan saya, dia tidak ada masalah dengan saya,” tegasnya.
“Kalau Pak Camat ternyata ditahan di Polda NTT terkait surat pernyataan itu, ya, itu ranah kepolisian yang menentukan. Saya tidak tahu soal itu, karena saya tidak pernah melaporkan Pak Camat,” lanjut Bonefasius.
Sementara Tu’a Gendang Terlaing, Hendrikus Jempo, mengatakan hal yang tak jauh berbeda. Ia merasa dirugikan dengan adanya surat pernyataan tersebut.
“Akibat dijadikannya surat pernyataan tersebut sebagai salah satu bukti di persidangan, menyebabkan kami kalah di dua tingkat Pengadilan. Walaupun adanya penetapan tersangka dalam perkembangan proses penyidikan, itu tugas penyidik. Itu domain polisi. Intinya kami masih menunggu status empat orang yang dilaporkan itu,” ucapnya. (KI20)