Denpasar (KitaIndonesia.Com) – Rudi Hermawan, SH, seorang advokat muda di Law Firm Togar Situmorang, sangat terkejut ketika didatangi sekitar 10 orang di kediamannya pada Selasa 15 Juni 2021 sekitar pukul 19.00 Wita.
Saat itu, mereka memperkenalkan diri sebagai Pecalang (Polisi Adat) dari Banjar Dukuh Pesirahan, Desa Adat Pedungan, Kota Denpasar, Bali. Mereka juga menyampaikan tujuan kedatangan mereka, yakni untuk memeriksa identitas dari Rudi Hermawan.
Advokat muda ini lalu memberikan identitas dirinya berupa Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang merupakan identitas sah bagi Warga Negara Indonesia (WNI). Saat itu terjadi keanehan, terutama setelah diketahui bahwa Rudi Hermawan bukan warga Desa Pedungan.
Salah seorang yang mengaku Pecalang pun menanyakan terkait Surat Tanda Lapor Diri (STLD) yang dikeluarkan oleh Desa Adat Pedungan. Tentu saja, Rudi Hermawan tak memiliki itu.
Karena tak memiliki STLD, Pecalang tersebut mengatakan akan menahan identitas milik Rudi Hermawan berupa e-KTP yang merupakan hak konstitusional setiap WNI untuk memilikinya. Advokat muda ini pun menyatakan keberatan atas upaya Pecalang untuk menahan identitas miliknya, sehingga mengambil kembali identitas miliknya tersebut dari salah satu Pecalang.
“Atas dasar apa Bapak bisa menahan KTP saya dikarenakan saya tidak memiliki Surat Tanda Lapor Diri yang dikeluarkan oleh Desa Adat Pedungan?” tanya Rudi Hermawan, kepada Pecalang tersebut.
Sang Pecalang tidak dapat menunjukan dasar hukum yang jelas dan hanya menjawab dengan jawaban semu, bahwa hal itu sudah merupakan Peraturan Desa Adat Pedungan sejak dahulu. Namun yang bersangkutan tidak menunjukkan di mana peraturan tersebut dimuat.
Atas dasar itu, Rudi Hermawan menolak apabila KTP-nya ditahan. Penolakan tersebut ternyata ditanggapi secara tidak baik oleh para Pecalang yang jumlahnya kurang lebih 10 (sepuluh) orang tersebut.
“Kamu ini ngelawan saja!” kata para Pecalang. “Saya tidak melawan. Saya hanya menanyakan kapasitas bapak-bapak apa untuk menahan KTP dan di mana hal tersebut diatur?” jawab Rudi Hermawan.
Rudi Hermawan bahkan kembali menanyakan siapa yang bisa memberikan dasar hukum yang membenarkan atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pecalang tersebut. Para Pecalang tersebut malah meminta advokat muda ini untuk bertemu dengan Kelian Banjar Dukuh Pesirahan.
Rudi Hermawan pun menuju lokasi Banjar Dukuh Pesirahan dengan diantar oleh salah satu Pecalang, yang sebelumnya melakukan pemeriksaan di kediamannya. Selanjutnya di kediaman Kelian Adat Banjar Dukuh Pesirahan di Jalan Pulau Roti Nomor 21, Pedungan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, ia kembali menanyakan dasar hukum Pecalang atau Desa Adat dapat menahan KTP dikarenakan tidak memiliki STLD.
Namun Rudi Hermawan kembali mendapatkan jawaban yang sama, yaitu jika peraturan tersebut sudah ada sejak dulu tanpa ditunjukkan dasar-dasar hukum yang jelas. Yang sangat mengejutkan lagi, ternyata advokat ini juga mendapat penjelasan jika dalam membuat STLD ada biaya sejumlah Rp100.000,- (seratus ribu rupiah).
Bukan itu saja, STLD tersebut juga hanya berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan dan harus diperpanjang setiap 3 (tiga) bulan sekali. Ketika memperpanjang STLD tersebut ada biaya yang harus dibayarkan yaitu sebesarRp100.000,- (seratus ribu rupiah).
Mendengar penjelasan tersebut Rudi Hermawan tetap bersikukuh tidak bersedia apabila identitas miliknya berupa e-KTP ditahan oleh Pecalang atau Desa Adat Pedungan. Namun di sisi lain, Kelian maupun anggota Pecalang Banjar Dukuh Pesirahan tetap bersikukuh untuk menahan KTP milik advokat muda tersebut.
Perdebatan pun membuat keadaan menjadi tidak kondusif. Karena keadaan menjadi kurang mengenakkan, Rudi Hermawan dengan sangat berat hati dan terpaksa akhirnya pada malam itu juga membuat STLD. Surat tersebut dibuat oleh salah satu Pecalang. Selanjutnya Rudi Hermawan membayar biaya pembuatan STLD sejumlah Rp100.000,- sehingga KTP miliknya tidak ditahan.
“Tentu saja kami sangat menyayangkan peristiwa tersebut. Saya ini Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan KTP elektronik, yang merupakan identitas resmi di Negara Republik Indonesia. Saya merasa diperlakukan seperti orang asing di negeri saya sendiri. Dimana untuk tinggal di lingkungan Banjar Dukuh Pesirahan, Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali harus membayar sebesar Rp100.000 untuk membuat dan memiliki STLD dan harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali,” tuturnya di Denpasar, Jumat 18 Juni 2021.
Menurut dia, baik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun di seluruh Perda Desa Adat terutama Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Provinsi Bali yang telah mengakui keberadaan Desa Adat di seluruh Bali, tidak ada satupun klausul yang menerangkan jika seorang pendatang di Bali harus membayar Rp 100.000 untuk membuat dan memiliki STLD yang dikeluarkan oleh Desa Adat dan harus diperpanjang setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Apalagi dengan terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2019, Desa Adat mendapatkan Anggaran Pendapatan Desa Adat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Bali.
“Sehingga sudah tidak semestinya Desa Adat Pedungan masih menarik biaya dari pembuatan STLD dari para pendatang yang bekerja di Bali,” kata Rudi Hermawan.
“Saya ingin bertanya, ketika tidak ada peraturan perundang-undangan ataupun Perda yang mengatur terkait pendatang yang harus membayar sebesar seratus ribu untuk memiliki atau membuat STLD yang dikeluarkan oleh Desa Adat, dimana STLD tersebut harus diperpanjang setiap tiga bulan sekali dengan ancaman identitas pendatang akan ditahan oleh Pecalang atau Desa Adat apabila tidak memilikinya, apakah ini suatu perbuatan yang resmi dan tidak bertentangan dengan undang-undang? Tolong berikan dasar hukum yang membenarkan tindakan tersebut kepada saya,” imbuhnya.
Secara terpisah, Advokat Togar Situmorang, SH, MH, MAP, CMed, CLA, menilai bahwa adanya pembebanan biaya untuk mengurus STLD seharusnya disosialisasikan terlebih dahulu secara luas. Selain itu, jangan sampai ada semacam unsur pemaksaan dalam penarikan biaya pembuatan surat tersebut.
“Terkait tagihan tersebut mungkin dapat ditoleransi. Tetapi yang memberatkan apabila warga atau pendatang yang tidak bisa membayar maka KTP-nya akan ditahan. Ini ada unsur semacam pemaksaan,” kata Togar Situmorang.
“Mohon kiranya ini disosialisasikan kembali terkait dana yang dipungut kepada warga, agar lebih transparan. Mohon juga jangan sampai ada gesekan yang tidak diharapkan ke depan dan mohon diperhatikan bagi para pemimpin desa dan masyarakat setempat,” pungkas CEO & Founder Law Firm Togar Situmorang yang berkantor pusat di Jalan Tukad Citarum Nomor 5 A, Renon, Denpasar Selatan ini. (KI-01)